Ada ungkapan yang menarik untuk kita renungkan:
Apa guna kita memiliki
sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas,
tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh?
Segeralah kaum sekolah itu pasti
akan menjadi penjajah rakyat
dengan modal kepintaran mereka
(YB. Mangunwijaya)
Atau tulisan Hadi Puewanto yang dikutip pengantar redaksi “Problematika Pendidikan Islam Kontemporer”, ketika menyebut problem pendidikan agama masih bersifat doktrinal:
Guru bicara, murid menulis
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
Guru mengatur, murid diatur
Guru menghukum, murid dihukum
Dosen membaca, mahasiswa mencatat
Dosen bertanya tentang bacaannya,
Mahasiswa menjawab dengan catatannya
Dosen diam, mahasiswa tidur
Dosen absen, mahasiswa pulang
Dosen pulang, mahasiswa berkelahi dengan aparat,
mabuk, aborsi, lalu ekstasi
Masalahnya adalah mengapa ungkapan seperti itu muncul, bukan tersinggung atau tidak. Apa yang terjadi dengan kebijakan dan praktik kependidikan kita? Dan tentunya, bagaimana pula seharusnya kita selaku pemerhati dan praktisi pendidikan menyikapi persoalan-persoalan kependidikan yang memunculkan kekecewaan yang demikian?
Dalam bahasa Paulo Freire, dunia pendidikan memerlukan keemimpinan yang revolusioner, metodanya bukan hanya `propaganda libertian` yang tidak hanya sekedar menanam tetapi dengan dialog. Kepemiminan revolusioner mesti mempraktekan pendidikan ko-intensioal. Artinya para guru dan murid sama-sama bertindak dalam dan bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subjek, bukan hanya dalam tugas menyingkap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas mencitakan kembali pengetahuan tadi.
Dalam tulisan lain, Freire juga menyebutkan perlunya pengajaran selalu diasosiasikan dengan “pembacaan kritis” terhadap realitas. Dengan engajaran itu, guru mengajar bagaimana cara berpikir. Kita tidak dapat megajarkan bahan pelajaran semata-mata seolah kontek sekolah di mana bahan pelajaran tersebut disampaikan bisa direduksi menjadi sebuah ruang netral yang terbebas dari konflik-konflik sosial. Latihan “berpikir benar” juga tidak dapat dipisahkan dari pengajaran suatu bahan pelajaran. Ini yang mestinya dilakukan dalam elajaran dunia pendidikan kita.
Dunia kependidikan kita -sejak era kolonial kemerdekaan, dan bahkan sampai era reformasi- masih menyisakan banyak persoalan yang tidak pernah bisa diselesaikan. Sistem pendidikan lebih banyak dibangun di atas dekrit kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis, bukan lahir dari rahim kesadaran pembangunan masyarakat baru secara “revolusioner” dan “visioner”. Cita-cita pembangunan masyarakat baru kiranya belum dielaborasikan ke dalam visi, misi, dan orientasi sistem pendidikan. Strategi perubahan “revolusioner”, sebagai peran yang harus dimainkan oleh pendidikan, belum jelas atau bahkan sengaja tidak diperjelas. Sehingga eksistensi sekolah sebagai pemasok utama masyarakat berendidikan hanya menjadi media reproduksi ideologi pemerintah. Ini perlu dimaklumi, karena negara ini tidak pernah di/melahirkan pemimpin yang akomodatif terhadap pendidikan maju, sehingga pertaggungjawaban secara akademis/intelektual di akhir jabatan pun bukan sesuatu yang utama. Begitu guyonan kalangan intelektual kampus. “sistem monarchi di Inggris beserta jajahannya Malaysia, dan Brunei Darusalam, misalnya, dipilih dan dipertahankan sebagai sistem kenegaraan daripada demokrasi karena putra mahkota kerajaan selalu/harus memperoleh pendidika tinggi yang maju.” Putra mahkora Kesultanan Negeri Perak-Malaysia, Pangeran Nazrin, misalnya, adalah alumnus Harvard University, Amerika Serikat. Juga Pangeran Mahkota Brunei Darusalam, adalah lulusan Cambridge University, Inggris. Artinya, kepemimpinan negara kiranya menyaratkan pendidikn sebagai acuan utama bagi pembangunan masyarakat baru.
Hal yang cukup relevan dengan dunia pendidikan kita adalah kenyataan bahwa kurangnya pengalaman kita dalam berdemokrasi, termasuk lemahnya demokrasi di lembaga-lembaga pendidikan kita. Kelemahan itu sangat tampak pada lemahnya penegakan nilai-nilai sebgai orientasi idealitas kehidupan yang bermakna pengukuhan terhadap nilai-nilai fundamental kemanusiaan, seperti keadilan (`adalah), persamaan (musawah), dan kemerdekaan (hurriyah).
UNESCO menyatakan bahwa demokrasi ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Anggota masyarakat menghormati hukum dan tatanan. Artinya, demokrasi menghargai pendaat orang lain yang berbeda. Antara orang-orang yang diserahi untuk memiimpin dan yang dipimpin harus ada saling percaya dan saling menghormati.
2. Kebebasan yang disertai tanggungjawab; dalam kebebasan mengemukakan pendapat ada pengakuan dan hak-hak warga lain dan hak pribadi ihak lain.
3. Persamaan dengan keyakinan akan martabat manusia serta pengakuan akan hak-hak orang lain, khususnya kelompok minoritas dan yang tertindas.
4. Disiplin diri sendiri yang diwujudkan dalam tatakrama berinteraksi antara sesama, dan apabila ada konflik, penyelesaian diambil tanpa menggunakan kekerasan.
5. Menjadi warga negara yang aktif dan bertanggungjawab meliputi kesiapan untuk menjadi sukarelawan dan berpartisipasi sebagai anggota masyarakat yang sadar akan kewajibannya sebagai warga negara yang baik.
6. Keterbukaan akan kebenaran ilmiah dan kebenaran universal, dan kesediaan untuk berdialog, berkonsultasi, serta bernegosiasi.
7. Berpikir kritis dalam mencari kebenaran yaitu menggunakan pikiran yang kritis dan jernih, dan melaksanakan keputusan berdasarkan informasi yang cukup dan sahih, bukan atas prasangka.
8. Solidaritas menggarisbawahi kerjasama yang baik dalam tim, pengambilan keputusan bersama serta mencari penyelesaian masalah dengan damai.
Demokratisasi pendidikan tidak hanya berlangsung di Perguruan Tinggi, tetapi merupakan proses sepanjang hayat. bermula dari pendidikan keluarga, masyarakat, sekolah dasar hingga sekolah menengah dijadikan sebagai pola hidup dalam berkarya. pendidikan demokrasi hanya dapat berlangsung dengan lancar apabila kondisi ingkungan juga demokratis. Artinya, orangtua, masyarakat, guru, karyawan, kepala sekolah juga memilki pola yang demokratis. di samping itu -mudah-mudahan tidak hanya mimpi- sebuah sekolah harus demokratis, yang berpihak kepada kepentingan anak-anak yang serba kekurangan, dan yang secepat mungkin, akan menghilangkan masalah-masalah di `rahim` sekolah yang melatari `pengusiran` anak-anak dari kelompok-kelompok bawah. sekolah juga diarahkan agar mampu melahirkan kesenangan. keseriusan, bahkan kerja keras yang melelahkan dalam proses belajar mengajar; tidak boleh mengubah tugas tersebut menjadi sesuatu yang menyedihkan.
walhasil meminjam bahasa Muhaimin, tantangan dunia pendidikan pada umumnya bukanlah permasalahan yang berdiri sendiri, melainkan terkait langsung atau tidak dengan perkembangan iptek dan kehidupan aspek lainnya, ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Bahkan pemikir muslim Pakistan Abul Hasan Maududi, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, menilai bahwa hampir semua lembaga pendidikan Islam tidak megajarkan Islam secara benar.
Bahkan boleh jadi justeru malah menjauhkan para pelajar dari ajaran Islam. bahkan lebih jauh beliau mengkritisi terhadap lembaga pendidikan Islam, pertama kekaburan identitas, ini terjadi pada kegiatan keseharian civitas akademika bahkan pada kegiatan keiliahannya. Kedua, despiritualisasi ilmu, dalam dunia pendidikan seringkali ditemukan upaya-upaya untuk hanya berorientasi pada hal-hal bersifat empiris atau materialistis tanpa memperhitungkan hal-hal yang bersifat metafisis. Ketiga, penolakan terhadap kritik. padahal Islam tidak pernah takut menghadapi kritik atau sikap ragu kepada siapapun. Bahkan al Quran dipenuhi dalil-dalil yang dikemukakan oleh penentang dan peragu ajarannya, semua dilayani dan dipatahkan argumentasinya. Keempat, kurikulum dan silabus, kurikulum dan silabus kita sudah sangat jauh ketinggalan. Seharusnya kurikulum dan silabus itu seperti aju yang kita pakai, yakni sesuai dalam ukuran dan modelnya dengan diri, selera, dan kebutuhan kita. Kita tak boleh meminjam dari orang lain, karena betapa pun indahnya terlihat, atau betapapun ukurannya boleh jadi secara umum sama, namun jika tidak dibuat sesuai selera dan kebutuhan riil kita, maka ia tidak nyaman untuk dipakai. Berbagai tantangan yang dihadapi dunia pendidikan pada umumnya juga harus dihadapi oleh pendidikan agama sebagai bagian dari proses pendidikan bangsa.alau dunia pendidikan di Indonesia memerlukan berbagai inovasi agar tetap berfungsi optimal di tengah arus perubahan, maka pendidikan agama juga memerlukan berbagai upaya inovasi agar eksistensinya tetap bermakna bagi kehidupan bangsa.