Rabu, 30 November 2011

Anak-anak di Tengah Krisis Keteladanan



Cara belajar anak-anak pertama adalah dengan meniru. Bukankah para ahlil  mengatakan bahwa anak-anak kita mendapatkan 90 persen perilaku dan nilai mereka dari kita. “What they see is what they do,” demikian kata para psikolog perkembangan anak. Cetak biru (blue- print) anak-anak untuk menjadi manusia di planet bumi ini berasal dari orangtua mereka. Anak-anak akan menyerap perilaku, sikap, dan bahasa setiap saat dalam hidup mereka. Orangtua senantiasa menjadi teladan bagi mereka. Keteladanan adalah salah satu sarana mengasuh anak terpenting namun sederhana, yang bisa digunakan orangtua. Karena itu, “Jika di rumah tidak ada teladan dan respons positif, anak-anak kita pasti mencari teladan di sekolah, di televisi, atau di jalanan,” demikian Steven W. Fannoy.
Lalu, bagaimana kalau di sekolah, di televisi, atau di masyarakat juga tak ada figur yang bisa dijadikan teladan? Ke mana anak-anak akan merujukkan tindakannya? Dan, anak-anak seperti apa yang bakal lahir kalau mereka dibesarkan tanpa panutan atau sandaran nilai dan moral dalam kehidupan yang keras ini?
Kini, banyak pakar berbicara tentang “krisis kebudayaan” (cultural crisis), ketika muncul kesenjangan yang lebar antara kata dan tindakan. Betapa ironis, kini “figur fublik” bermunculan bagai jamur di musim hujan, tapi dengan berat hati kita katakan betapa masih sering kita melihat pernyataan mereka tak jarang bertolak belakang dengan perilaku mereka. Cobalah lihat komentar elit politik kita akhir ini. Tak heran, kalau ada yang bilang bahwa kita kini tengah mengalami “krisis keteladanan”. Bukankah anak-anak muda sekarang tengah kehilangan “examplary centre”, karena nyaris tak ada tokoh atau figur yang bisa dijadikan contoh atau teladan dalam bertindak dan berperilaku. Tak heran pula kalau kita juga mengalami krisis yang sering dibilang sebagai “generation gap”, kesenjangan antar generasi yang kian lebar. Inilah sesungguhnya yang menjadi penyebab hilangnya rasa hormat dan saling percaya di antara generasi muda dan generasi tua.
Melihat kenyataan itu, sedemikian muramkah dunia anak-anak kini dan di masa datang? Tentu saja, kita masih punya harapan. Bukankah begitu banyak orang meromantisir bahwa anak-anak itu adalah makhluk murni yang datang dari surga, sebagai wujud cinta kasih Tuhan di dunia. Semua itu tentu saja adalah metafora untuk menunjukkan bahwa dengan kehadiran anak-anak, dunia ini bisa dihiasi dengan cinta dan saling pengertian.
Seperti kata-kata psikolog humanis, Erich Fromm, penulis The Art of Loving: “Without love, humanity could not exist for a day.” Tanpa cinta, kemanusiaan takkan ada sekalipun hanya sehari. Karena itu, “Jika orangtua bisa berbicara dan bertindak lebih karena cinta, anak-anak mereka juga akan belajar untuk mendengar; tidak hanya karena orangtua mereka, melainkan juga karena perasaan cinta dalam hati mereka. Sehingga mereka termotivasi, bukan karena takut, tapi karena cinta,” demikianlah ujar Dr. John Gray, dalam bukunya yang menawan, Children from are Heaven (1999).

Kapitalisme Pendidikan


Sudah rahasia umum jika pendidikan sekarang sangat mahal. Yah seperti kata buku, orang miskin dilarang sekolah! Memprihatinkan, tapi itulah kenyataannya. Masuk TK saja bisa mencapai ratusan ribu maupun jutaan rupiah, belum lagi kalo masuk SD-SMP-SMA-Universitas yang favorit. Kalau dihitung, seseorang yang masuk TK sampai dengan universitas yang favorit akan menghabiskan 100 juta lebih. Wow!
Sekolah memang harus mahal, itulah stigma yang tertanam di benak sebagian orang, dari orang awam dan bahkan sampai beberapa pejabat depdiknas. benarkah demikian??? Itu adalah omongan sesat, mereka yang bicara ngelantur begitu sudah pasti tidak pernah lihat kondisi luar. Malaysia, Jerman, bahkan Kuba sekalipun bisa membuat pendidikannya sangat murah dan dapat diaksese oleh sebagian besar lapisan masyarakatnya.
Pendidikan yang kapitalistik sekarang ini, yang bertujuan bisnislah yang membuat biaya-biaya membengkak. Pendidikan diserahkan sebagian kontolnya kepada swasta karena pemerintah yang kurang becus. Ada baiknya swasta ikut mengatur pendidikan sehingga masyarakat pun bisa berperan dalam lembaga pendidikan, tapi walau bagaimanapun ini bukan berarti bahwa pemerintah lepas tangan begitu saja. Ya, kan??? Pendidikan instan ala swasta yang mementingkan bisnis kjadi masalah besar buat dunia pendidikan. kadang terbaca di iklan-iklan, lembaga pendidikan yang menawarkan lulus cepat+absen tidak dihitung+dapat ijazah+dll. Sepertinya, yang penting bagi pendidikan hanyalah dapat ijazah buat kerja saja. Padahal pendidikan ditujukan untuk membangun moral individu dan tingkat pengetahuannya.
Lalu bagaimana caranya agar pendidikan bisa murah?? Wah, ini bukan persoalan gampang,dan jelas butuh pemikiran mendalam. Biar dipikir dan merenung dahulu. Tidak dituliskan disini, karena bakal sangat panjang juga.

Hakikat Pendidikan


Apa sih hakikat pendidikan? Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh institusi pendidikan?

Agak miris lihat kondisi saat ini. Institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar laku, sebagian memberikan iming-iming : lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Apa yang bisa diharapkan dari pendidikan kering idealisme seperti itu. Ki hajar dewantoro mungkin bakal menangis lihat kondisi pendidikan saat ini. Bukan lagi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa (seperti yang masih tertulis di UUD 43, bah!), tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.

Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh" saat ini. Bukan lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi. Karena pola pikir "buruh" lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada anak murid. Dan semuanya hanya demi satu kata : IJAZAH! ya, ijazah, ijazah, ijazah yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Sangat minim idealisme untuk mengubah kondisi bangsa yang morat-marit ini, sangat minim untuk mengajarkan filosofi kehidupan, dan sangat minim pula dalam mengajarkan moral.

Apa sebaiknya hakikat pendidikan? saya setuju dengan kata mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, ini masih harus diterjemahkan lagi dalam tataran strategis/taktis. kata mencerdsakan kehidupan bangsa mempunyai 3 komponen arti yang sangat penting : (1) cerdas (2) hidup (3) bangsa.

(1) tentang cerdas
Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan real. Cerdas bukan berarti hapal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Cerdas bermakna kreatif dan inovatif. Cerdas berarti siap mengaplikasikan ilmunya.

(2) tentang hidup
Hidup itu adalah rahmat yang diberikan oleh Allah sekaligus ujian dari-Nya. Hidup itu memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Patut dijadikan catatan, bahwa jasad yang hidup belum tentu memiliki ruh yang hidup. Bisa jadi, seseorang masih hidup tapi nurani kehidupannya sudah mati saat dengan snatainya dia menganiaya orang lain, melakukan tindak korupsi, bahkan saat dia membuang sampah sembarangan. Filosofi hidup ini sangat sarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan seorang manusia, memberikannya makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral dan tujuan hidup.

(3) tentang bangsa
Manusia selain sesosok individu, dia juga adalah makhluk sosial. Dia adalah komponen penting dari suatu organisme masyarakat. Sosok individu yang agung, tapi tidak mau menyumbangkan apa-apa apa-apa bagi masyarakatnya, bukanlah yang diajarkan agama maupun pendidikan. Setiap individu punya kewajiban untuk menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat, berusaha meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitarnya, dan juga berperan aktif dalam dinamika masyarakat. Siapakah masyarakat yang dimaksud disini? Saya setuju bahwa masyarakat yang dimaksud adalah identitas bangsa yang menjadi ciri suatu masyarakat. Era globalisasi memang mengaburkan nilai-nilai kebangsaan, karena segala sesuatunya terasa dekat. Saat terjadi perang Irak misalnya, seakan-akan kita bisa melihat Irak di dalam rumah. Tapi masalahnya, apakah kita mampu berperan aktif secara nyata untuk Irak (selain dengan doa ataupun aksi)? Peran aktif kita dituntut untuk masyarakat sekitar...dan siapakah masyarakat sekitar? tidak lain adalah individu sebangsa.

Selasa, 15 November 2011

Demokratisasi dan Liberalisasi Pendidikan Islam

Ada ungkapan yang menarik untuk kita renungkan:

Apa guna kita memiliki
sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas,
tetapi massa rakyat dibiarkan bodoh?
Segeralah kaum sekolah itu pasti
akan menjadi penjajah rakyat
 dengan modal kepintaran mereka
(YB. Mangunwijaya)

Atau tulisan Hadi Puewanto yang dikutip pengantar redaksi “Problematika Pendidikan Islam Kontemporer”, ketika menyebut problem pendidikan agama masih bersifat doktrinal:

Guru bicara, murid menulis
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
Guru mengatur, murid diatur
Guru menghukum, murid dihukum
Dosen membaca, mahasiswa mencatat
Dosen bertanya tentang bacaannya,
Mahasiswa menjawab dengan catatannya
Dosen diam, mahasiswa tidur
Dosen absen, mahasiswa pulang
Dosen pulang, mahasiswa berkelahi dengan aparat,
mabuk, aborsi, lalu ekstasi

Masalahnya adalah mengapa ungkapan seperti itu muncul, bukan tersinggung atau tidak. Apa yang terjadi dengan kebijakan dan praktik kependidikan kita? Dan tentunya, bagaimana pula seharusnya kita selaku pemerhati dan praktisi pendidikan menyikapi persoalan-persoalan kependidikan yang memunculkan kekecewaan yang demikian?
Dalam bahasa Paulo Freire, dunia pendidikan memerlukan keemimpinan yang revolusioner, metodanya bukan hanya `propaganda libertian` yang tidak hanya sekedar menanam tetapi dengan dialog. Kepemiminan revolusioner mesti mempraktekan pendidikan ko-intensioal. Artinya para guru dan murid sama-sama bertindak dalam dan bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subjek, bukan hanya dalam tugas menyingkap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas mencitakan kembali pengetahuan tadi.
Dalam tulisan lain, Freire juga menyebutkan perlunya pengajaran selalu diasosiasikan dengan “pembacaan kritis” terhadap realitas. Dengan engajaran itu, guru mengajar bagaimana cara berpikir. Kita tidak dapat megajarkan bahan pelajaran semata-mata seolah kontek sekolah di mana bahan pelajaran tersebut disampaikan bisa direduksi menjadi sebuah ruang netral yang terbebas dari konflik-konflik sosial. Latihan “berpikir benar” juga tidak dapat dipisahkan dari pengajaran suatu bahan pelajaran. Ini yang mestinya dilakukan dalam elajaran dunia pendidikan kita.
Dunia kependidikan kita -sejak era kolonial kemerdekaan, dan bahkan sampai era reformasi- masih menyisakan banyak persoalan yang tidak pernah bisa diselesaikan. Sistem pendidikan  lebih banyak dibangun di atas dekrit kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis, bukan lahir dari rahim kesadaran pembangunan masyarakat baru secara “revolusioner” dan “visioner”. Cita-cita pembangunan masyarakat baru kiranya belum dielaborasikan ke dalam visi, misi, dan orientasi sistem pendidikan. Strategi perubahan “revolusioner”, sebagai peran yang harus dimainkan oleh pendidikan, belum jelas atau bahkan sengaja tidak diperjelas. Sehingga eksistensi sekolah sebagai pemasok utama masyarakat berendidikan hanya menjadi media reproduksi ideologi pemerintah. Ini perlu dimaklumi, karena negara ini tidak pernah di/melahirkan pemimpin yang akomodatif terhadap pendidikan maju, sehingga pertaggungjawaban secara akademis/intelektual di akhir jabatan pun bukan sesuatu yang utama. Begitu guyonan kalangan intelektual kampus. “sistem monarchi di Inggris beserta jajahannya Malaysia, dan Brunei Darusalam, misalnya, dipilih dan dipertahankan sebagai sistem kenegaraan daripada demokrasi karena putra mahkota kerajaan selalu/harus memperoleh pendidika tinggi yang maju.” Putra mahkora Kesultanan Negeri Perak-Malaysia, Pangeran Nazrin, misalnya, adalah alumnus Harvard University, Amerika Serikat. Juga Pangeran Mahkota Brunei Darusalam, adalah lulusan Cambridge University, Inggris. Artinya, kepemimpinan negara kiranya menyaratkan pendidikn sebagai acuan utama bagi pembangunan masyarakat baru.
Hal yang cukup relevan dengan dunia pendidikan kita adalah kenyataan bahwa kurangnya pengalaman kita dalam berdemokrasi, termasuk lemahnya demokrasi di lembaga-lembaga pendidikan kita. Kelemahan itu sangat tampak pada lemahnya penegakan nilai-nilai sebgai orientasi idealitas kehidupan yang bermakna pengukuhan terhadap nilai-nilai fundamental kemanusiaan, seperti keadilan (`adalah), persamaan (musawah), dan kemerdekaan (hurriyah).
UNESCO menyatakan bahwa demokrasi ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
1.      Anggota masyarakat menghormati hukum dan tatanan. Artinya, demokrasi menghargai pendaat orang lain yang berbeda. Antara orang-orang yang diserahi untuk memiimpin dan yang dipimpin harus ada saling percaya dan saling menghormati.
2.      Kebebasan yang disertai tanggungjawab; dalam kebebasan mengemukakan pendapat ada pengakuan dan hak-hak warga lain dan hak pribadi ihak lain.
3.      Persamaan dengan keyakinan akan martabat manusia serta pengakuan akan hak-hak orang lain, khususnya kelompok minoritas dan yang tertindas.
4.      Disiplin diri sendiri yang diwujudkan dalam tatakrama berinteraksi antara sesama, dan apabila ada konflik, penyelesaian diambil tanpa menggunakan kekerasan.
5.      Menjadi warga negara yang aktif dan bertanggungjawab meliputi kesiapan untuk menjadi sukarelawan dan berpartisipasi sebagai anggota masyarakat yang sadar akan kewajibannya sebagai warga negara yang baik.
6.      Keterbukaan akan kebenaran ilmiah dan kebenaran universal, dan kesediaan untuk berdialog, berkonsultasi, serta bernegosiasi.
7.      Berpikir kritis dalam mencari kebenaran yaitu menggunakan pikiran yang kritis dan jernih, dan melaksanakan keputusan berdasarkan informasi yang cukup dan sahih, bukan atas prasangka.
8.      Solidaritas menggarisbawahi kerjasama yang baik dalam tim, pengambilan keputusan bersama serta mencari penyelesaian masalah dengan damai.
Demokratisasi pendidikan tidak hanya berlangsung di Perguruan Tinggi, tetapi merupakan proses sepanjang hayat. bermula dari pendidikan keluarga, masyarakat, sekolah dasar hingga sekolah menengah dijadikan sebagai pola hidup dalam berkarya. pendidikan demokrasi hanya dapat berlangsung dengan lancar apabila kondisi ingkungan juga demokratis. Artinya, orangtua, masyarakat, guru, karyawan, kepala sekolah juga memilki pola yang demokratis. di samping itu -mudah-mudahan tidak hanya mimpi- sebuah sekolah harus demokratis, yang berpihak kepada kepentingan anak-anak yang serba kekurangan, dan yang secepat mungkin, akan menghilangkan masalah-masalah di `rahim` sekolah yang melatari `pengusiran` anak-anak dari kelompok-kelompok bawah. sekolah juga diarahkan agar mampu melahirkan kesenangan. keseriusan, bahkan kerja keras yang melelahkan dalam proses belajar mengajar; tidak boleh mengubah tugas tersebut menjadi sesuatu yang menyedihkan.
walhasil meminjam bahasa Muhaimin, tantangan dunia pendidikan pada umumnya bukanlah permasalahan yang berdiri sendiri, melainkan terkait langsung atau tidak dengan perkembangan iptek dan kehidupan aspek lainnya, ekonomi, politik, maupun sosial budaya. Bahkan pemikir muslim Pakistan Abul Hasan Maududi, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, menilai bahwa hampir semua lembaga pendidikan Islam tidak megajarkan Islam secara benar. 
Bahkan boleh jadi justeru malah menjauhkan para pelajar dari ajaran Islam. bahkan lebih jauh beliau mengkritisi terhadap lembaga pendidikan Islam, pertama kekaburan identitas, ini terjadi pada kegiatan keseharian civitas akademika bahkan pada kegiatan keiliahannya. Kedua, despiritualisasi  ilmu, dalam dunia pendidikan seringkali ditemukan upaya-upaya untuk hanya berorientasi pada hal-hal bersifat empiris atau materialistis tanpa memperhitungkan hal-hal yang bersifat metafisis. Ketiga, penolakan terhadap kritik. padahal Islam tidak pernah takut menghadapi kritik atau sikap ragu kepada siapapun. Bahkan al Quran dipenuhi dalil-dalil yang dikemukakan oleh penentang dan peragu ajarannya, semua dilayani dan dipatahkan argumentasinya. Keempat, kurikulum dan silabus, kurikulum dan silabus kita sudah sangat jauh ketinggalan. Seharusnya kurikulum dan silabus itu seperti aju yang kita pakai, yakni sesuai dalam ukuran dan modelnya dengan diri, selera, dan kebutuhan kita. Kita tak boleh meminjam dari orang lain, karena betapa pun indahnya terlihat, atau betapapun ukurannya boleh jadi secara umum sama, namun jika tidak dibuat sesuai selera dan kebutuhan riil kita, maka ia tidak nyaman untuk dipakai. Berbagai tantangan yang dihadapi dunia pendidikan pada umumnya juga harus dihadapi oleh pendidikan agama sebagai bagian dari proses pendidikan bangsa.alau dunia pendidikan di Indonesia memerlukan berbagai inovasi agar tetap berfungsi optimal di tengah arus perubahan, maka pendidikan agama juga memerlukan berbagai upaya inovasi agar eksistensinya tetap bermakna bagi kehidupan bangsa.